Selasa, 27 Desember 2011

KONDISI PENDIDIKAN DI INDONESIA


Bukan hal yang perlu diragukan lagi jika kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari keberhasilan pendidikannya. Pendidikan merupakan factor utama dalam memajukan suatu bangsa. Negara maju pastilah mempunyai kualitas pendidikan yang tinggi. Dewasa ini tampaknya kondisi di Indonesia semakin memprihatinkan, terutama kondisi pendidikannya. Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Jika kita mengkaji permasalahan-permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan, sangatlah kompleks. Sehingga sangat memerlukan perhatian dari semua pihak, baik pemerintah kaum akademisi maupun masyarakat pada umumnya.
Mulai dari masalah sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia yang masih sangat minim (terutama di daerah pinggiran), rendahnya anggaran pendidikan, adanya politisasi pendidikan, KKN di lingkungan pendidikan, sampai pada masalah kualitas dan kuantitas dari tenaga pendidikan. Belum lagi dengan masuknya paham kapitalisme di Indonesia yang menjadikan lembaga - lembaga pendidikan maupun non pendidikan sebagai ladang untuk memperkaya diri. Sehingga yang kaya makin kaya dan yang miskin semakin miskin. Bukan masalah orang itu bodoh atau pintar asalkan ada uang semuanya beres. Orang dihargai bukan lagi karena kepandaiannya tetapi dihargai karena kedudukan dan kekayaannya, sangat memprihatinkan sekali bukan ?
Semua permasalahan tersebut tentunya ada akar penyebabnya, perlu kita pikirkan dan kita tuntaskan secara bersama-sama. Setiap permasalahan pastilah ada jalan keluarnya.
Jika kita kaji masalah diatas memang saling berhubungan satu sama lain. Masalah kualitas tenaga pengajarseperti guru misalnya diakibatkan oleh rendahnya kesejahteraan yang diterima oleh guru.“Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005)”.
Dengan gaji seperti itu seorang guru masih dituntut untuk bisa mencetak generasi penerus yang berkualitas. Yang pada umumnya seorang siswa hanya berorientasi pada nilai bukan pada keterampilan dan perubahan karakter menjadi lebih baik. Tidak peduli besok dewasa berakhlak baik atau buruk yang penting dapat nilai baik dan bisa diterima di sekolah lanjutan yang berkualitas. Dengan apapun caranya termasuk dengan mecontek, jual beli nilai, ataupun yang lainnya. Pendidikan karakter sebetulnya juga sudah di sampaikan pada sebagian mata pelajaran keagamaan di sekolah-sekolah. Namun dirasa masih sangat minim dengan waktu yang hanya dua jam dalam seminggu(sekolah umum) seorang guru keagamaan dituntut bisa mengubah siswa-siswanya berkarakter baik semua, sangat mustahil. Dan rendahnya dana pendidikan disebabkan karena rendahnya anggaran pendidikan , di Indonesia anggaran pendidikan masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, belum lagi jika dari anggaran tersebut dikorupsi baik di tingkat pusat maupun daerah.   Kecilnya anggaran pendidikan pendidikan dikarenakan kurangnya perhatian dari pemerintah dan para elite politik di negeri ini untuk memperjuangkan mutu pendidikan di Indonesia. Dan hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa.
Masuknya paham kapitalisme juga ditengarai sebagai factor penyebab dari luar rendahnya pendidikan di Indonesia. Dimana paham ini lebih mementingkan materi dari pada yang lain, mengolah apapun agar bisa di uangkan, dan bersifat individualistic. Lihat saja realita yang terjadi pada lembaga-lembaga negara maupun swasta di negeri ini (termasuk lembaga pendidikan). Misalnya saja pada lembaga pendidikan terdapat pengkelasan berdasarkan pada kualitas ekonomi peserta didik bukan pada kualitas akademik peserta didik, adanya jalur khusus masuk pendidikan baik di tingkat dasar maupun perguruan tinggi, adanya komersialisasi sarana dan prasarana pendidikan, pembelian ijazah pendidikan dan pemalsuan.
Masalah-masalah tersebut perlu kita tuntaskan dengan upaya-upaya yang bijak. Perlu adanya dukungan dari semua pihak baik  pemerintah, akademisi, maupun masyarakat pada umumnya.
Sebagai warga negara yang baik seharusnya kita memperhatian kondisi pendidikan di negeri ini. Pendidikan akan membawa kemajuan suatu bangsa dan negara. Sudah sepatutnya kita melakukan berbagai upaya untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Upaya-upaya tersebut dapat kita lakukan mulai dari hal-hal yang kecil seperti belajar dengan baik dan benar, tidak mencontek di waktu ujian, menghormati guru dan orang tua, menghormati ilmu, dan tentunya senantiasa berdoa kepada Allah SWT. Kita juga sebagai calon pendidik juga harus memenuhi berbagai kualifikasi sebagai guru yang professional.


(Muhammad nur fadhli , 27 Desember 2011)